MAKALAH ULUMMUL HADIST PENGERTIAN DAN BENTUK-BENTUK HADIST
file documen nya bisa di download di bawah
bagi kalian yang tidak mau kopas kalau mau kopas ya tinggal kopas aja di bawah heheheheheh :)
Download
bagi kalian yang tidak mau kopas kalau mau kopas ya tinggal kopas aja di bawah heheheheheh :)
Download
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al Quran dan hadits merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di dunia yang mengatur kehidupan mereka. “Aku tinggalkan dua warisan,selama kedua-duanya kamu pegang teguh maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Al-qur`an dan Sunah Rasulnya (hadits) " itulah perkataan nabi untuk seluruh umat manusia. Banyak diantara kita yang mungkin terjadi kesalahpahaman dalam menyebutkan tentang apakah itu yang dinamakan hadits. Dalam makalah ini kami akan menjabarkan tentang pengertian hadits serta macam-macam hadits yang ada. Karena hadis merupakan sumber pokok kedua dari ajaran Islam, maka hadis- hadis yang dijadikan dasar untuk melaksanakan ajaran Islam haruslah yang sahih dan autentik, bukan hadis yang lemah, apalagi palsu. Untuk mengetahui otentisitas dan tingkat validitas hadis tersebut diperlukan suatu penelitian yang cermat, terutama meriwayatkannya. Memahami pengertian hadits dan bentuk-bentuknya merupakan suatu ilmu yang penting dipelajari oleh setiap muslim. Oleh karena itu penulis akan menjelaskan pengertian dan bentuk-bentuk hadis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Pengertian Hadits ?
2. Bagaimana komponen Hadits ?
3. Bagaimana sinonim Hadits ?
4. Bagaimana Bentuk-bentuk Hadist ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui Pengertian Hadist.
2. Mengetahui komponen Hadits.
3. Mengetahui sinonim Hadits.
4. Mengetahui bentuk-bentuk hadits.
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadits
Pengertian hadits secara etimologis Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadist, jamaknya al-Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis , kata ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.[1]
Menurut Ahli Hadist : Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
Menurut Ahli Ushul : Semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.[2]
2. Komponen Hadits
Komponen Hadits terdiri dari :
a. Perkataan Nabi (qowli)
b. Perbuatan Nabi (fi’liyah)
c. Persetujuan Nabi (taqririyah)
Diantara ulama ada yang memasukkan pada definisi hadits sifat (washfi), sejarah (tarikhi) dan cita-cita (hammi) Rasul. Hadits sifat, baik sifat fisik (khalqiyah) maupun sifat perangai (khuluqiyah). Sifat fisik seperti tinggi badan Nabi yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, kulit nabi putih kemerah-merahan bagaikan bunga mawar, berambut kriting, dll. Sedang sifat perangai mencakup ahklak beliau misalnya saynag terhadap fakir miskin dan lain-lain.[3]
Sejarah hidup Rasul juga masuk kedalam hadits baik sebelum menjadi Rasul maupun setelahnya. Menurut pendapat yang kuat jika setelah menjadi Rasul wajarlah dimasukkan sebagai sunnah atau hadits tetapi sejarah yang terjadi sebelum menjadi Rasul, belumlah dimasukkan sunnah kecuali jika diulang kembali atau dikatakan kembali setelah menjadi Rasul.
Para ulama syafi’iyah juga memasukkan sebagian dari sunnah apa yang dicita-citakan rasul (sunnah hammiyah) sekalipun baru rencana dan belum dilakukannya, karena beliau tidak merencanakan sesuatu kecuali yg benar dan dicintai dalam agama, dituntut dalam syariat islam,dan beliau diutus untuk menjalaskan syariat islam. Seperti cita-cita beliau berpuasa hari tanggal 9 muharam, rencana beliau perintah para sahabat mengambil kayu untuk membakar rumah orang-orang munafik yang tidak berjamaah salat isya dan lain-lain. Sekalipun ini baru merupakan cita-cita, tetapi telah diucapkan beliau itu hadits qoulyyang pasti benarnya dan alasannya beliau belum mengamalkannya jelas, yakni berpulang ke rahmat Allah.[4]
3. Sinonim Hadits
· Sunnah
Menurut bahasa : kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan buruk.
Sunah menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, diantaranya sebagai berikut:
a. Menurut ulama ahli hadis (Muhadditsin).
Diantara ulama ada yang mendefinisikan dengan ungkapan yang singkat yaitu: segala prkataan Nabi, perbuatannya, dan segala tingkah lakunya.[5]
b. Menurut ulama Ushul fikih (Ushuliyun)
Segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan hukum syara’ (perkataan, perbuatan dan taqrir). Sunah menurut ulama Ushul fikih hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum islam. Jika suatu perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur, berjalan, meludah, menelan ludah, buang air, dan lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dinamakan sunnah.
c. Menurut Ulama Fiqih (fuqaha)
Menurut ulama fiqih, sunnah dilihat dari segi hukum adalah sesuatu yang datang dari Nbi tetapi hukumnya tidak wajib , diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain.
d. Menurut ulama maw’izhah (‘Ulama Al-Wa’zhi wa Al-Irsyad):
Sunnah menurut ulama maw’izhah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi dan sahabat.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sunnah menurut ulama hadis lebih bersifat umum yaitu meliputi segala sesuatu yang datang dari Nabi dalam bentuk apapun, baik berkaitan dengan hukum atau tidak. Sedangkan sunnah menurut ulama Ushul Fikih dibatasi pada hal-hal yang berkaita dengan hukum atau tidak. Sedangkan sunnah menurut saja dan yang tidak berkaitan dengan hukum Sedangkan sunnah menurut Ulama Ushul fikih dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum saja dan yang tidak berkaitan dengan hukum seperti amal mubahat seperti makan, minum, duduk, berdiri, jongkok, dan lain-lain tidak termsuk sunnah. Menurut ulama fikih hanya melihat sepihak maksud hukum sunnah yang meruppakan antonim dari wajib. Demikian juga sunnah dimata ulama maw’idzah yang hanya melihat pada sisi lawan sunnah tanpa melihat substansi dan makna yang tersirat dalam sunnah tersebut.[6]
Perbedaan para ulama dalam mendefinisikan sunnah lebih disebabkan karena perbedaan disiplin ilmu yang mereka miliki atau yang mereka kuasa dan ni menunjukkan keterbatasan pengetahuan manusia yang dibatasi pada bidang-bidang tertentu. Ulama hadis melihat Nabi sebagai figur keteladanan yang baik (uswatun hasanah), maka semua yang datang dari nabi adalah sunnah. Ulama ushul melihat pribadi nabi sebagai pembuat syariat (syari’), penjelasan kaedah-kaedah kehidupan masyarakat ,dan pembuat dasar-dasar ijtihad. Ahli fikih memandang segala perilaku Nabi mengandung huku lima, yaitu wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Sedang ulama maw’ihah melihatnya sesuatu yang datang dari Nabi wajib dipatuhi dan diikuti. ahli Fiqh : sunnah merupakan salah satu hukum yang lima (wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah)[7]
· Khabar
Secara etimologi, khabar berarti “berita”.
Adapun menurut istilah, ada dua pendapat ulama tentang arti khabar, yaitu:
a. Menurut Shubhi al-Shâlih (1977: 10), sebagian ulama menyamakan khabar dengan hadits, yaitu apa yang datang dari Nabi, baik disandarkan kepada Nabi (marfû’), kepada shahabat (mawqûf), maupun kepada tabi’in (maqthû’). Adapun alasannya, dari segi bahasa arti hadits dan khabar adalah berita. Di samping itu, term perawi tidaklah terbatas bagi orang yang meriwayatkan berita dari Nabi saja, tetapi juga yang meriwayatkan berita dari shahabat dan tabi’in.
b. Menurut Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb dalam karyanya Ushûl al-Hadits: ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu” (1989: 27), sebagian ulama membedakan khabar dengan hadits. Hadits adalah apa yang berasal dari Nabi, sedangkan khabar adalah apa yang berasal dari selainnya. Implikasinya, orang yang menekuni hadits disebut muhaddits, sedangkan yang menggeluti sejarah disebut akhbari. Selain itu, hadits bersifat khusus dan khabar bersifat umum. Artinya, setiap hadits adalah khabar dan tidak setiap khabar adalah hadits.[8]
· Atsar
Secara etimologi, atsar berarti bekas, sisa sesuatu, atau nukilan.Karena itu, doa yang dinukilkan dari Nabi dinamai “Doa Ma`tsûr”.
Adapun secara terminologi, ada dua pengertian atsar, yaitu:
a. Atsar sinonim dengan hadîts, sehingga ahli hadîts juga disebut atsari. Dalam hal ini, al-Thabari memakai term atsar untuk apa yang datang dari Nabi. Bahkan, al-Thahawi juga memasukkan apa yang datang dari shahabat.
b. Atsar berbeda dengan hadîts. Di mata ulama fiqh, atsar adalah perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan sebagainya. Ulama Khurazan memaknai atsar sebagai perkataan shahabat, sedangkan ak-Zarkasyi memeakai term atsar untuk hadîts mawqûf, juga membolehkan pemakaiannya untuk hadits marfû’.
c. Jumhur ‘ulama : Atsar sama dengan khabar, yaitu yang didasarkan kepada nabi Muhammad SAW, sahabat dan thabi’in.
Dari ke empat pengertian tentang hadits, sunnah, khabar dan atsar, maka pada dasarnya memiliki kesamaan maksud, yakni segala sesuatu yang datang dari nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya.[9]
· Perbedaan Hadits dan Sinonimnya
Hadits dan sinonimnya
|
Sandaran
|
Aspek dan Spesifikasi
|
Sifatnya
|
Hadits
|
Nabi
|
Perkataan (quoli), perbuatan (fi’liyah), persetujuan (taqriri)
|
Lebih khusus dan meskipun dilakukan sekali.
|
Sunnah
|
Nabi dan Para Sahabat
|
Perbutan (fi’li)
|
Menjadi tradisi
|
Khabar
|
Nabi dan selainnya
|
Perkataan (qouli), perbuatan (fi’li)
|
Lebih umum
|
Atsar
|
Nabi dan Tabi’in
|
Perkataan (qouli), perbuatan (fi’li)
|
Umum
|
4. Bentuk-bentuk hadits.[10]
a. Hadits Qawli
Hadits qawli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, ucapan, ataupun sabda yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak, atau lainnya. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
1. لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)
b. Hadits Fi’li
Hadits fi’li ialah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad saw yang sampai kepada kita. Misalnya hadits riwayat al-Bukhari dari Jabir ibn ‘Abd Allah:
2. كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة
Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat ”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)
c. Hadits Taqriri
Maksud hadits taqriri ialah Penetapan (Taqririyyah) yaitu perkataan atau perbuatan tertentu yang dilakukan oleh sahabat di hadapan Nabi Muhammad atau sepengetahuan beliau, namun beliau diam dan tidak menyanggahnya dan tidak pula menampakkan persetujuannya atau malahan menyokongnya. Hal semacam ini dianggap sebagai penetapan dari Nabi Muhammad walaupun beliau dalam hal ini hanya bersifat pasif atau diam. Sebagai contoh, pengakuan Nabi Muhammad terhadap ijtihad para sahabat berkenaan dengan shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abd Allah Ibn Umar:[11]
3. لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III: 499, hadits 894)[12]
d. Hadits Hammi
Hadits hammi adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi saw yang belum sempat beliau realisasikan, seperti halnya keinganan untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura sebagai diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas:
4. حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada har ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits 1916)
e. Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang menyebutkan hal ihwal Nabi saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Contohnya, pernyataan al-Barra` ibn ‘Azib berikut ini:[13]
5. كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي
Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”.
I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi
a. Hadits Mutawatir.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
1. Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
b. Hadits Ahad.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
1) Hadits Shahih.
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :[14]
a) Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
b) Harus bersambung sanadnya
c) Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
d) Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
e) Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
f) Tidak cacat walaupun tersembunyi.
2) Hadits Hasan.
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan di kalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
3) Hadits Dha'if.
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
II. Menurut Macam Periwayatannya[15]
a. Hadits yang bersambung sanadnya.
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
b. Hadits yang terputus sanadnya.
1) Hadits Mu'allaq. Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.
2) Hadits Mursal. Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
3) Hadits Mudallas. Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
4) Hadits Munqathi. Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.
5) Hadits Mu'dhol. Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya.[16] Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.
III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi[17]
a. Hadits Maudhu'. Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
b. Hadits Matruk. Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
c. Hadits Mungkar. Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
d. Hadits Mu'allal. Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).
e. Hadits Mudhthorib. Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
f. Hadits Maqlub. Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
g. Hadits Munqalib. Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
h. Hadits Mudraj. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
i. Hadits Syadz. Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.[18]
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Penutup
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Bentuk-bentuk hadits terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.
Ada bermacam-macam hadits, yaitu:
1. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi. Contohnya Hadits Mutawatir, Hadits Ahad.
2. Menurut Macam Periwayatannya contohnya: Hadits yang bersambung sanadnya, Hadits yang terputus sanadnya. 3. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi contohnya: Hadits Maudhu', Hadits Matruk, Hadits Mungkar, Hadits Mu'allal, Hadits Mudhthorib, Hadits Maqlub, Hadits Munqalib, Hadits Mudraj, Hadits Syadz.
B. Saran
Kita sebagai golongan terpelajar jangan hanya menjadikan kitab- kitab hadist sebagai buku hiasan saja atau buku pelengkap referensi, tetapi hendaklah kita baca, maknai, dan ditafsiri dengan baik dan selanjutnya di amalkan dengan segenap kemampuan. Dan kiranya makalah kami ini sangat jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi meningkatkan kesempurnaan makalah yang kami tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://anekamakalahkita.blogspot.com/2013/01/makalah-kuliah-pengertian-hadis.html. diunduh tanggal 08 Juni 2013 pukul 10.50 wib
http://riyadhulmubtadiin99.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-bentuk-bentuk hadis. html. diunduh tanggal 08 Juni 2013. 10.50 WIB
http://musloemsejati.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-bentuk-hadits.html di unduh tanggal 08 Juni 2013. 10.50 WIB
http://atikanaufa.wordpress.com/2013/02/02/pengertian-dan-bentuk-bentuk-hadits/ di unduh tanggal 08 Juni 2013. 10.50 WIB
http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=102:pengertian-hadits&catid=20:fatwa&Itemid=65 di unduh tanggal 08 Juni 2013. 10.50 WIB
Manzhur, Ibnu. Lisan Al-Arab,juz II, (Mesir: Dar Al-Mishriyah, tt)
Al-Siba’i, Dr.Mustafa, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’ Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Salam, 1998), cet. Ke-I
Dr.H.Abdul Majid Khon, M.Ag. Ulummul Hadits, (Jakarta:Amzah,2010).
[3] Dr.H.Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, (Jakarta:Amzah,2010), hlm.4.
[9] Al-Siba’i, Dr.Mustafa, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’ Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Salam, 1998), cet. Ke-I
[17] Manzhur, Ibnu. Lisan Al-Arab,juz II, (Mesir: Dar Al-Mishriyah, tt)
[18] Al-Siba’i, Dr.Mustafa, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’ Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Salam, 1998), cet. Ke-I